Jepara, jateng.kabardaerah.com – Beberapa waktu lalu tepatnya Selasa tanggal (17/1/23), di depan Gedung Wakil Rakyat di Senayan dipenuhi warna cokelat. Ribuan Kepala Desa se-Indonesia melakukan aksi damai, mereka menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa yang sebelumnya enam tahun menjadi sembilan tahun.
Karena itu, para kepala desa mendesak agar DPR segera melakukan revisi pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Demo Kepala Desa menuai banyak kritik dari eleman masyarakat, bahwasanya aksi perpanjangan jabatan kepala desa hanyalah demi kepentingan kepala desa bukan masyarakat.
kritikan masyarakat tersebut membuat beberapa awak media mewawancarai Ketua Papdesi Jawa Tengah Joko Prakoso di kediamannya, Jumat (27/1/2023). Untuk meminta tanggapannya,
Menurut Joko Prakoso kepada awak media , bahwa permohonan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam menjadi sembilan tahun, didasari oleh beberapa hal, diantaranya adalah untuk meredam ketegangan dan polarisasi politik pasca Pilkades. Selama ini masyarakat sering terbelah akibat perbedaan pilihan calon kepala desa dan berdampak pada berkurangnya produktifitas masyarakat serta banyaknya aktifitas desa terbengkalai. Ketegangan dan polarisasi dapat diredam jika masa jabatan kepala desa ditambah, tutur Joko.
Joko juga menyampaikan, produktifitas Kepala Desa, Dengan masa jabatan 9 tahun, kepala desa memiliki waktu lebih banyak untuk mensejahterakan masyarakat dan pembangunan desa lebih efektif. Perpanjangan masa jabatan bukan bentuk arogansi, tetapi kebutuhan menyelesaikan konflik pasca pilkades. Perpanjangan masa jabatan kades tetap dibatasi selama 18 tahun atau dua periode, jelas Joko .
Tuntutan terkait revisi Undang-Undang no 6 Tahun 2014 tentang Desa, bukan karena isi dan subtansi UU Desa, akan tetapi karena tumpang tindih regulasi pelaksanaan UU Desa yang “mengamputasi” sebagian kewenangan Desa, papar Joko.
Namun yang tak kalah
penting selain tuntutan di senayan menurut Joko adalah, problem yang dialamai banyak desa bukan sebatas masa jabatan kepala desa, lebih mendasar lagi terkait kesejahteraan aparatur desa. Problem pengaturan penghasilan tetap dan tunjangan Kades dan perangkat desa belum mencerminkan rasa keadilan. Perintah membayar gaji/siltap, tunjangan, dan operasional pemerintahan desa harus bersumber dari ADD serta besaran prosentase antara jabatan Kades, Sekdes, dan perangkat lainnya sudah diatur sedemikian ketat dan tidak proporsional serta tidak mencerminkan jaminan peningkatan kesejahteraan. Oleb karena itu, Revisi Undang-Undang No 6 tahun 2014 tentang Desa perlu mendapat Perhatian dari anggota DPR RI, mengakhiri penjelasannya.
(Ninik)
Discussion about this post